Bobroknya Pengelolaan Anggaran Pendidikan Jadi Pemicu Kisruh Antara Kepsek dengan LSM

Foto : Pemerhati Pendidikan Silampari, Fauzan Hakim.



LUBUKLINGGAU - Kisruh antara beberapa oknum anggota LSM dan wartawan dengan pihak sekolah di Kota Lubuklinggau belakangan ini mengundang  tanda tanya bagi seorang Pemerhati Pendidikan, Fauzan Hakim.

Dimana sebelumnya ramai di pemberitaan, pihak sekolah yang merasa kurang senang atas ulah beberapa oknum LSM dan wartawan yang dianggap meresahkan akhirnya melapor ke Aparat Penegak Hukum (APH).

Dikatakan Fauzan pada Rabu (06/12), apa yang dilakukan pihak sekolah bukan tanpa sebab, dimana sebelumnya beberapa Kepala Sekolah sering dipermasalahkan hingga terpaksa harus berurusan dengan APH, karena tersandung kasus penyimpangan pengelolaan anggaran Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

"Oknum Kepala Sekolah (Kepsek) yang dilaporkan atas kasus dugaan penyimpangan anggaran Dana BOS belakangan ini menjadi persoalan serius yang patut menjadi perhatian semua pihak, terkhusus pemerintah. Ini tentunya memerlukan jawaban, agar tidak menjadi polemik dikemudian. Paling tidak, bisa menjawab apa  yang selama ini menjadi pertanyaan publik, apa sebenarnya yang terjadi antara instansi pendidikan dengan lembaga atau ormas," ujar Fauzan.

Menurut pria lulusan Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah UIN Raden Fatah Palembang tahun 1999 itu, ada banyak permasalahan pendidikan saat ini, salah satunya kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Berdasarkan perangkingan dari word population review 2021, Indonesia  menempatkan peringkat ke 54 dari 78 negara di dunia.

"Kita masih kalah ketimbang negara tetangga Asia Tenggara, yaitu Singapura di posisi 21, Malaysia 38 dan Thailand 46," katanya.

Padahal, lanjut Fauzan, secara regulasi dan pendanaan negara telah mengalokasikan 20 persen dana APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Angka itu tentu sangat besar sesuai dengan amanah Ungang-undang  Sistem Pendidikan Nasional.

"Belum lagi persoalan gonta-ganti kurikulum sebagai upaya pembaharuan, siswa malah kebingungan karena terpaksa beradaptasi dari kurikulum lama ke kurikulum baru, semua itu adalah persolan dan sebuah dilema," tuturnya.

Menurut pria kelahiran 1974 itu,  ada beberapa faktor yang menjadi permasalahan pendidikan saat ini. Dan dari faktor itu boleh jadi penyebab terjadinya kekisruhan yang terjadi saat ini.

"Pertama, pihak sekolah dalam mengelola anggaran belum sepenuhnya mematuhi regulasi anggaran pendidikan," jelasnya.

Padahal, ungkap dia, dengan digelontorkannya dana pendidikan ke pihak sekolah oleh pemerintah, seharusnya menunjang pihak sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan yang  seharusnya dikelola dengan baik, dan tentunya harus sesuai juknis dan juklak pelaksanaan.

"Pada kenyataannya, dana pendidikan yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas sekolah serta memenuhi kreativitas guru dan siswa dalam mengembangkan pembelajaran, malah justru disalah artikan  untuk kepentingan pribadi. Akibatnya beberapa kepala terpaksa berurusan dengan penegak hukum karena tersandung dugaan korupsi Dana BOS," katanya.

"Kedua, jika dilihat dari beberapa kasus yang telah terungkap, maka pelaku utama dari penyalahgunaan Dana BOS yakni Kepala Sekolah yang bekerjasama dengan bendahara sekolah. Dari beberapa kasus korupsi yang terungkap ditemukan ada beberapa modus yang dilakukan oleh Kepala Sekolah dalam melakukan penyimpangan uang rakyat ini," sambungnya.

Lebih lanjut, bahkan informasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendibudristek) RI, menyebutkan ada beberapa modus korupsi penyimpangan Dana BOS yang dilakukan Kepala sekolah.

"Diantaranya Kepala Sekolah diduga diminta menyetor sejumlah uang tertentu kepada pengelola Dana BOS di Dinas Pendidikan Nasional (Diknas), dengan dalih mempercepat proses pencairan Dana BOS. Pihak sekolah hampir selalu berdalih bahwa Dana BOS kurang, lalu menghimpun dana tersebut untuk menyuap beberapa pejabat diknas demi memuluskan rencana jahat mereka," jelas pria asli putra Silampari itu.

Tak hanya hanya itu, papar Fauzan, modus lain paling sering antara lain adalah  Kepala Sekolah memandulkan peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan dengan tujuan mempermudah mengolah Dana BOS. Lalu, pihak sekolah atas perintah Kepala Sekolah menarik sumbangan kepada para orang tua siswa dengan dalih Dana BOS kurang. Akhirnya Dana BOS sengaja dikelola secara tidak transparan dan faktanya hampir setiap sekolah tidak memasang papan informasi tentang dana BOS.

"Ada sebuah ungkapan yang  menghubungkan antara Korupsi dengan kekuasaan, yakni 'power tends to corrupt, and absolut power corrups absolutely', bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi, dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi yang absolut," terangnya.

Dari ungkapan itu, Fauzan berpendapat bahwa kekuasaan dalam pengelolaan  anggaran cenderung membuat orang menjadi korup.

"Karena itu, di tahun 2020 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru pada sistem pengaturan juknis pengelolaan Dana BOS tujuannya tidak lain untuk memperketat serta menciptakan sistem agar penyaluran BOS tepat sasaran," ungkapnya.

Bahkan pada tahun itu pula, Menteri Keuangan Sri Mulyani, pernah membongkar modus penyimpangan Dana BOS dengan melakukan perubahan sistem penyaluran juknis BOS, yakni penyaluran Dana BOS dilakukan pemerintah pusat langsung ke sekolah penerima dengan skema yang  sudah sangat rinci, yaitu by name, by address dan by school account. Hal itu bertujuan untuk transparansi pengelolaan Dana BOS. Kendati demikian, masih tetap saja ada celah untuk memanipulasi data seperti laporan tahunan.

"Suatu kejahatan tindak pidana Korupsi biasanya ketahuan setelah adanya audit  tahunan dari BPK. Inilah yang menjadi pokok persoalan sekolah kita hari ini," cetusnya.

Kembali Fauzan menjelaskan, penyalahgunaan Dana BOS merupakan permasalahan yang secara terang-terangan ada di lingkungan sekolah. Sehingga harus ditangani bersama agar Dana BOS tidak dikorupsi lagi dan harus tepat sasaran.

Sebab itu, ia menyarankan beberapa hal yang harus dilakukan pihak sekolah dalam mengelolah anggaran sekolah, guna menghindari terjadinya penyimpangan anggaran sekolah oleh Kepala Sekolah.

"Pertama, perlu adanya transparansi pengeloaan anggaran sekolah. Dengan adanya transparansi penggunaan baik pemasukan dan pengeluaran dana operasional sekolah, paling tidak dapat mengurangi isu negatif terhadap penyelenggara sekolah. Karena itu pemerintah telah menerapkan sistem keuangan berbasis online agar lebih transparan dan akuntabel. Semacam E-budgeting misalnya, untuk menjadi solusi terbaik dalam melakukan transparansi anggaran sekolah," harapnya.

"Selain itu, sekolah seharusnya memasang spanduk atau banner tentang komponen-komponen dan larangan-larangan pengunaan Dana BOS. Dan yang tak kalah penting dari itu semua adalah peran serta masyarakat, ormas, LSM maupun orang tua siswa-siswi dalam mengawal dan mengawasi dana pendidikan ini," lanjutnya berharap.

Terkait fungsi dan tugas lembaga kontrol, ia menjelaskan melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok, LSM sebagai sebuah lembaga mempunyai lingkup kegiatan yang tidak terbatas pada lingkungan hidup saja.

Lebih dari itu lembaga kontrol independen tersebut memilki peran besar dalam pembangunan dan memajukan bangsa. Peran dan fungsi besar tersebut harus didukung, baik dari masyarakat maupun pemerintah sebagai mitra untuk bersama- sama menjaga, agar LSM dalam perannya   berjalan sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

"Namun, pada realitanya sekarang banyak LSM yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan tidak sesuai dengan peraturan Undang-undang yang ada," terang Fauzan.

Dijelaskan juga, mengenai peraturan organisasi kemasyarakatan seperti LSM atau ormas semua telah diatur, diantaranya dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, atau biasa disebut Undang-undang Ormas. Dimana diantara tugas dan fungsi LSM adalah untuk memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan negara, bahkan bila perlu melakukan kritik atau protes.

"Hal itu dilakukan karena bisa saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum, terutama yang dilakukan pejabat negara atau kalangan bisnis," tegasnya.

Selain itu, didalam tugas LSM atau Ormas juga telah dijamin oleh pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, sebelum ataupun setelah direvisi disebutkan hak setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul dalam menyampaikan pendapatnya secara lisan ataupun tertulis, perseorangan ataupun berkelompok.

"Karena itu masyarakat atau lembaga negara seperti Ormas atau LSM harus menggunakan haknya dalam mengawal dan mengawasi para penyelenggara negara, terkhusus pihak yang mengelolah uang Negara. Bahkan  tugas dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam pengawasan terhadap penyelenggara, negara lebih secara spesifik telah dipertegas didalam pasal 41 ayat (1) dan (3) Undang-undang tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yang pada intinya menegaskan peran serta masyarakat dan lembaga ormas atau semacamnya dalam pencegahan tindak pidana korupsi," paparnya.

Namun, tentu saja dalam hal melaksanaan tugas dan fungsi itu jangan sampai disalah gunakan. Kalau semua institusi atau lembaga di negara ini melaksanakan tugas dan fungsi sesuai ketentuan, maka tidak ada lagi para penyelenggara pendidikan atau Kepala Sekolah yang terjerat kasus korupsi dan tidak ada pula yang perlu  dikhawatirkan.

"Kalau benar kenapa harus takut," ungkapnya.

Dengan demikian, lanjut Fauzan, dapat disimpulkan bahwa kisruh antara instansi sekolah dengan beberapa oknum LSM dan wartawan belakangan ini terjadi bisa disebabkan karena bobroknya pengelolaan anggaran pendidikan oleh oknum Kepala Sekolah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dan dari situlah timbul akar permasalahannya.

Disamping itu, tugas lembaga kontrol semacam LSM atau Ormas yang sejatinya menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, namun pada kenyataannya masih ada oknum tersebut yang melaksanakan tugasnya melanggar dari ketentuan yang ada.

Oleh karena itu, ia menyarankan beberapa hal yang harus dilakukan kedua belah pihak, yakni pertama Kepala Sekolah harus memahami Peraturan Perundang-undangan tentang tata cara pengelolaan anggaran pendidikan semisal Dana BOS serta  mematuhinya.

"Dana BOS harus dijaga bersama, bukan hanya dari pihak-pihak yang berwenang mengurusnya, tetapi juga semua kita tanpa terkecuali. Sebab korupsi di lingkungan pendidikan harus segera diberantas dan diungkap. Karena korupsi musuh kita bersama," paparnya.

Selanjutnya, peran serta masyarakat serta LSM harus lebih dioptimalkan, tentu saja peran tersebut tidak boleh salah gunakan.

Sebab selama ini, pengawasan Dana BOS hanya dilakukan oleh aparatur pemerintahan, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kepolisian dan Inspektorat Jenderal Kemendikbud. Namun sekarang ini, sudah waktunya masyarakat juga ikut berperan serta dalam mengawasi penggunaan dana BOS, tak terkecuali ormas atau Lembaga negara lainnya.

"Mengingat pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab semua, yang pengawasannya harus dilakukan secara  bersama antara pemerintah dengan masyarakat," tandasnya.

(Gpz)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama