SILAMPARI BERITA | Ada Untuk Mengabarkan

Pengembalian Uang Korupsi Tidak Menghapuskan Tuntutan Pidana!

* Putusan Hakim Harus Memberikan Rasa Keadilan dan Kemanfaatan Bagi Masyarakat?
Oleh : Fauzan Hakim, S.Ag







Kasus korupsi di Indonesia tidak akan pernah ada habisnya, dimana saja, kapan saja, termasuk di lingkungan Kementerian Agama. Tulisan ini mencoba mengungkapkan contoh kasus korupsi  dan pungli disejumlah instansi atau institusi penegak hukum. Seperti kasus dugaan pungli biaya nikah yang saat ini belum ada penindakan.

Berikutnya akan dijelaskan juga apa saja penyebab serta dampak putusan ringan  penanganan perkara kasus korupsi besar, dan bagaimana perkara tersebut bisa terjadi?

Untuk kasus dugaan pungutan liar (Pungli), terjadi 2025 di di kantor urusan agama (KUA) Kecamatan Padang Ulak Tanding kabupaten Rejang Lebong provinsi Bengkulu, yakni adanya dugaan pungutan liar biaya nikah sebesar Rp 900 Ribu.

Kasus ini sempat viral, publik berharap pihak terkait dalam hal ini Kepala Kantor Wilayah Kementerian agama provinsi Bengkulu sejatinya segera mengambil langkah tegas dan menindak pelaku sesuai ketentuan, namun sampai saat ini belum ada penindakan. Padahal dalam Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2014 pasal 6 ayat 1, telah memberikan sangsi tegas bahwa menikah diluar kantor atau diluar jam kerja biaya nikah Rp 600 Ribu, lebih dari itu dinamakan pungli.

Rupanya setelah ada pemberitaan, dalam hal ini Kepala KUA, telah melakukan pertemuan ke pihak keluarga pasangan pengantin dalam upaya pendekatan, berharap agar permasalahan ini tidak dilaporkan dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Saat ini kementerian agama wilayah Bengkulu dan Wilayah Kabupaten Rejang Lebong memilih bungkam saat keluarga pengantin pria menanyakan perkembangan kasus tersebut. Karena itu tidak berlebihan bila penulis menduga bahwa pelaku telah menemui keluarga pasangan pengantin dimungkinkan mengembalikan uang hasil pungli dengan harapan perkaranya bisa dihentikan. Pertanyaannya, apakah dengan mengembalikan uang pungli atau uang hasil tindak pidana korupsi proses perkaranya tidak dapat ditindaklanjuti? Inilah tema pembahasan tulisan ini.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan pungli diatur sebagai pelanggaran hukum. Pasal 368 KUHP menyatakan bahwa siapapun yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, dapat diancam dengan pidana penjara hingga sembilan tahun.

Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa pungli tergolong tindakan pemerasan (Pasal 368), gratifikasi atau hadiah (Pasal 418), serta melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 23), berapapun nilai korupsinya. Oleh karena itu para pelakunya harus ditindak. Jika perkara ini tidak segera dilakukan penindakan, patut dicurigai terdapat dugaan turut sertanya pimpinan melindungi kejahatan anak buahnya.

Untuk diketahui perkara hukum tidak boleh diabaikan atau dihentikan begitu saja meskipun terdapat pengampunan atau karena adanya permintaan maaf ataupun uang hasil korupsi telah dikembalikan. Mengapa? Sebab akan berdampak buruk bagi penegakan hukum serta keberlansungan masa depan bangsa dan bahkan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Selain itu, tindakan penghapusan proses hukum tanpa alasan yang diterima akal apalagi bertentangan dengan asas dan norma hukum dapat menyebabkan pelemahan pada penindakan para koruptor dimana orang tidak lagi takut untuk melakukan tindak pidana korupsi. 

Sebagai contoh, dua perkara korupsi  yang telah merugikan keuangan negara ratusan juta Rupiah hingga triliunan Rupiah, satu korupsi triliunan telah diputus ringan dan satu perkara lagi proses hukumnya telah dihentikan. 

Sebut saja kasus korupsi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah TBK senilai Rp 300 Triliun dengan terdakwa Harvey Moeis yang hanya divonis pidana penjara 6 tahun 6 bulan dan ganti rugi senilai Rp210 miliar. Kasus ini sempat menjadi perhatian publik, menuai protes  serta tanggapan berbagai pihak dan saat ini menjadi polemik. Hingga KY pun telah mengusut hakim yang memvonis.

Sejumlah pakarpun berpendapat bahwa putusan hakim dinilai sangat lemah dan tidak adil. Bahkan Presiden Prabowo Subianto pun sempat menyindir bahwa vonis ringan untuk kasus ini telah melukai hati rakyat. 

Demikian juga kasus dugaan Korupsi  Pembangunan Taman Olah Raga Muara Kati (TOM) lanjutan, senilai Rp 2.123.000.000, yang ditangani oleh kejaksaan Negeri Lubuklinggau, tetapi  kemudian dihentikan yang kemudian memicu aksi demo dikantor Kejari oleh dua aktivis terkemuka kota Lubuklinggau, Ahmad Jamaludin dan Herman Sawiran.

Keduanya mempertanyakan tindakan pihak kejaksaan Negeri LubukLinggau yang dinilai tidak adil dan terkesan tebang pilih atas penanganan perkara. Bahkan Jamaluddin sempat menyebutkan, tindakan Kejari LubukLinggau yang menghentikan perkara tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

Kala itu, pimpinan kejaksaan, Anita Asterida beralasan Penghentian Pemeriksaan perkara telah sesuai  sesuai surat Jampidsus Nomor : B-765/Fb.1/04/2018 tanggal 20 Apirl 2018 perihal Petunjuk Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, yang pada intinya menyimpulkan, i'tikad baik,  pengembalian uang hasil korupsi dengan sejumlah alasan serta pertimbangan normatifnya, tetapi kemudian dijadikan dasar dihentikannya perkara.

Lalu, apa penyebab dihentikannya perkara? Dan bagaimana dampak  terjadinya hukuman ringan korupsi besar bagi kelangsungan hidup bernegara?

Dalam hal ini penulis berpendapat, apapun dalil dan alasannya, pelaku korupsi, kendati telah mengembalikan uang hasil korupsi tetap dilakukan proses hukum. Sebab, perkara hukum adalah perkara rasa keadilan. I'tikad baik, pengembalian hasil korupsi dan segala macam alasan tidak dapat dijadikan dasar dihentikannya sebuah perkara. "Sebab hal tersebut bertentangan dengan kaedah hukum  yang melarang untuk tidak memberikan pertolongan kepada orang yang sedang dalam bahaya, yakni koruptor."

Karena itu hukuman ringan bagi pelaku korupsi tidak dapat menjamin kepastian hukum yang bersendikan pada keadilan yakni asas keadilan dari masyarakat, bukan atas keputusan hakim atau penuntut umum yang terkadang cenderung menggunakan hak subjektivitasnya saat menangani perkara.

Artinya ketika putusan hakim ataupun proses hukum terkait sebuah perkara  menimbulkan keresahan ditengah masyarakat, lalu memicu protes hingga menimbulkan kegaduhan, itu pertanda bahwa penanganan dan putusan perkara tersebut terindikasi bermasalah, belum memenuhi rasa keadilan dan syarat kepentingan bahkan dimungkinkan bernuansa politis. Berarti  hakim yang menangani perkara tersebut telah mengenyampingkan peran dan fungsinya.

Dan untuk diketahui, bahwa peran hakim adalah memahami tujuan dari hukum, yakni menggali keadilan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, karena hukum dalam masyarakat itu bagaikan organisme hidup yang harus dipenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu Putusan Hakim Harus Memberikan Rasa Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan Bagi Masyarakat?

Jadi, vonis rendah Harvey, penghentian kasus TOM adalah dua perkara yang krusial dan bertentangan dengan kaedah atau tujuan hukum, karena telah melukai rasa keadilan bagi masyarakat yang tentu harus ditinjau ulang. 

Berikutnya, penyebab lain atas putusan ringan Harvey, penuntut umum maupun hakim tidak memahami dampak kerusakan lingkungan. Sejatinya hakim dan penuntut umum memiliki pemahaman yang mendalam dan bisa mempertimbangkan kerugian non materiel yang mengancam masa depan generasi anak bangsa. 

Sementara penghentian perkara TOM, telah menuai banyak kritikan dan protes masyarakat yang kemudian berujung terjadinya aksi demo, menunjukkan bahwa perkara tersebut bertentangan dengan tujuan hukum yaitu menciptakan menciptakan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat serta menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Faktanya paska dikeluarkannya surat keputusan penghentian perkara masyarakat kota Lubuklinggau merasa resah karena dibuat bingung atas kebijakan yang kontroversial itu.

Dalam perkara ini, penulis berkepentingan menyampaikan pendapat ahli, bahwa "perkara pidana itu mengadili perbuatan, yang dari perbuatan itu lahir kerugian. Jika kerugiannya dikembalikan, tetap tidak menghapus perbuatan pidananya.
Perbuatan pidana dapat dihentikan prosesnya jika ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3. (Abdul Fickar). Sementara SP3 akan dikeluarkan oleh aparat penegak hukum, jika perkara yang sedang diusut bukanlah perkara pidana dan barang bukti perkara yang diusut tersebut kurang.

Terkait kerugian yang dikembalikan, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan proses perkara, ia hanya akan berpengaruh pada pengurangan hukuman pidananya saja, dan tidak menghapuskan perbuatan pidananya."
Hal ini sejalan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dikemukakan saudara kita Drs. Ahmad Jamaluddin sebelumnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember (Unej) Prof. Arief Amrullah. Ia  berpendapat, kasus tindak pidana tidak boleh dihentikan meskipun uang hasil korupsi dikembalikan,"Sebab, tindak pidananya telah sempurna ketika pelaku menerima uang (Vooltoid)."(Khairul Huda).

Artinya penerima uang hasil korupsi atau pungli tetap bisa dipidana meskipun penerima tidak menikmati uang tersebut. Sebab, telah ada unsur pokok menerima atau unsur menguasai, penempatan, pentransferan, atau pembayaran.
Sehingga dengan adanya unsur ini pelaku atau penerima dapat dikenakan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana. Disini nantinya hakim-lah yang akan menentukan apakah hukuman pelaku akan diringankan atau tidak.

Jadi, pengembalian hasil kejahatan tidak akan menghapus kejahatannya. Sebab, subyek hukum pidana itu adalah perbuatannya dan perbuatan tersebut  sudah terjadi. Jadi tetap, proses pidana harus dilakukan pada siapapun yang diketahui mengembalikannya.

Hanya saja, dalam konteks proses hukumnya, pengembalian hasil kejahatan hanya akan mungkin berpengaruh pada besarnya tuntutan pidana atau putusan hakim. Dan itupun tergantung pada "hak subyektif"Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang mengadili.

Penulis adalah Lulusan Tahun 1999 Fakultas Usuluddin UIN Raden Fatah Palembang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama