Ironi 'CSR' di Penghujung Kalender


PALI - Keterangan resmi yang dikutip dari Kementerian Keuangan Repulik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), telah membekukan aset ex Pertamina Pendopo yang dipinjam pakaikan kepada Pemkab PALI, berupa stadion olah raga berikut tribun dan tiga bangunan lainnya yang terletak dalam satu hamparan di tengah jantung Ibukota PALI.

Nilai yang dibekukan tersebut tidaklah lebih mahal jika dibandingkan nilai paket pekerjaan proyek PL (Pengadaan Langsung) pemerintah yang hanya sebesar Rp. 135,52 juta, dimana tribun yang saat ini belum selesai direnovasi termasuk didalamnya.

“Memang segitu pak”, terdengar suara seorang perempuan dari loudspeaker sambungan telpon di pos penjagaan kantor DJKN, saat menerima anggota Tim Investigasi yang bermaksud mengklarifikasi keterangan tersebut waktu itu.

Tim tidak diperkenankan masuk menemui bagian teknis bidang pengelolaan aset, hanya bisa berkomunikasi lewat sambungan telpon yang tersedia di lantai dasar Gedung Syafrudin Perwiranegara II Jalan Lapangan Banteng Timur Jakarta Pusat.

Jawaban customer service dari bagian kehumasan tersebut terkesan normatif dan cenderung tidak menguasai materi, keterangan yang disampaikannya melalui sambungan telpon pun tak diperkenankannya untuk dikutip, tim pun lalu diarahkannya untuk menghubungi layanan Halo DJKN open ticket pada laman resmi kemenkeu.go.id.

Dua pertanyaan yang menjadi substansi adalah, pertama apakah nilai aset yang dibukukan tersebut sebesar Rp.135,52 juta adalah penilaian pada tahun 2021 atau masih menggunakan data saat Tribun Gelora November dibangun dan belum dikonversi sesuai nilai inflasi saat ini. Lalu kedua, berapa nilai taksiran bongkaran BMN tersebut.

Tak ada informasi yang berhasil dihimpun dari layanan tersebut, dua nomor antrean tiket J2RO3Q dan 7A5V4O dari Agent 077 DJKN hanya direspon oleh mesin penjawab otomastis saja.

Pekerjaan Mandek
270 hari kalender atau setara dengan 9 bulan masa pekerjaan, renovasi tribun tidak menunjukan progress sebagaimana baseline (kurva’S’) yang direncanakan.

Kondisi mandeknya pelaksanaan proyek tersebut sebenarnya dengan mudah dijelaskan secara teknis oleh pihak-pihak yang terlibat, bahkan secara sederhana konsekuensi akibat keterlambatan pekerjaan tersebut yakni berupa pemberlakuan denda terhadap wanprestasi salah satu pihak yang lalai.

Siaran pers dari PT Bukit Asam (PTBA) yang diterima tim melalui pesan Whatsapp beberapa waktu lalu menunjukan, bahwa terdapat kelemahan dalam pengawasan. Sebagai financier yang membelajakan Rp.5,7 miliar uang Corporate Social Responsibility (CSR), PT BA tidak cermat mengetahui kondisi di lapangan, PT BA bahkan tidak mengetahui jikalau dilokasi pembangunan sudah lama tidak ada aktifitas pekerjaan.

Manajer Humas Komunikasi dan Administrasi Korporat PTBA, Dayaningrat mengatakan hingga saat ini proyek pembangunan tribun stadion Gelora November Kabupaten PALI masih terus berjalan. Pihak pelaksana mengalami kendala yang diakibatkan oleh pemberlakukan PPKM antar provinsi, diantaranya keterlambatan pasokan material baja yang harus dipesan dan didatangkan dari pulau Jawa.

"Dengan kondisi pandemi yang sudah cukup baik serta adanya kelonggaran PPKM maka Insyaa Allah, dengan dukungan berbagai pihak, kita tetap optimis rencana penyelesaian di akhir Desember 2021 akan rampung sesuai rencana,” katanya.

Adapun pendanaan pembangunan stadion Gelora November Kabupaten PALI, kata Dayaningrat, merupakan bantuan Gubernur Sumatera Selatan yang bersumber dari Program CSR PTBA. Ia menjelaskan, proyek pembangunan tersebut termasuk salah satu dari 11 stadion bantuan Gubernur Sumsel yang tersebar di Provinsi Sumatera Selatan.

Sementara dari pihak pelaksana pekerajaan, PT Aprilia Maju Bersama melalui kontrak kerja Nomor 214/PJJ/A.01883/16100/HK.03/2020 mengakui, bahwa keterlambatan terjadi karena terdapat perubahan perencanaan yang mesti menunggu persetujuan pihak-pihak terkait.

Semula, renovasi bangunan tribun direncanakan hanya membungkus pilar-pilar yang lama dengan cor beton, namun dari berbagai pertimbangan teknis serta ketentuan tidak dibolehkannya merubah bentuk bangunan, menurut pihak pelaksana adalah faktor utama terjadinya keterlambatan tersebut.

Bongkaran BMN Raib
Analisa penghitungan beberapa informasi sumber (tidak resmi) lapak barang bekas baik yang berada di PALI maupu di Palembang menyebutkan, kisaran bongkaran Tribun Gelora November bekisar Rp.400-500 juta.

Analisa ini mengacu pada foto bangunan sebelum tribun dibongkar. Sayangnya, dari verifikasi dan cek fakta di lapangan, tim hanya menemukan onggokan sebagian kecil saja sisa potongan-potongan besi bongkaran tersebut, sementara material lainnya berupa atap seng, menurut pengakuan pihak pelaksana digunakan Satuan Brigade Mobil (Sat Brimob) PALI untuk kandang.

Pihak-pihak terintegral dalam dalam 'persoalan' ini mungkin saja tidak menyadarinya, tonan besi bongkaran BMN yang terindikasi raib tentu harus ada pertanggung jawabannya, jika tak ingin disangkakan melakukan tindak pidana penggelapan. Tidak ada pihak-pihak yang benar-benar serius mengurusi material bongkaran BMN tersebut malah terkesan 'cuci tangan'

Konfirmasi dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Lahat, tidak ada menyebutkan terkait informasi permohonan, jadwal ataupun informasi (petunjuk) lainnya yang berasal dari Pertamina dan atau Pemkab PALI untuk melelang bongkaran BMN, lalu kemana raibnya bongkaran BMN tersebut?

Dari data penelusuran, didapati keterangan-keterangan yang kemudian dapat dijadikan benang merah tentang indikasi raibnya bongkaran BMN tersebut.

Pertama, Pihak Pemkab PALI melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) mengakui bahwa mereka tidak berhak memanfaatkan atau digunakan kembali ataupun dilelangkan, mengingat status pinjam pakainya.

Kemudian, BPKAD juga tidak memiliki kompetensi dalam hal melakukan penghitungan taksiran bongkaran BMN dan mengarahkan tim untuk menkonfirmasi pihak Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP) terkait informasi keberadaan atau penyimpanan bongkaran BMN.

Kedua, PT Pertamina Pendopo Field yang
tk kelabakan menjawab pertanyaan tim, setelah beberapa kali meralat statemen akhirnya didapatkan konfirmasi sebagai berikut: "Kami sudah tanyakan kembali ke tim kami yang bertanggung jawab untuk warehouse dan yard, sampai saat ini mereka belum menerima material bongkaran".

Ketiga, pihak DPKP yang terkejut dengan 'berondongan' pertanyaan tim. Meski tak menjawab surat yang sudah dua kali dilayangkan, akhirnya kesempatan door stop berhasil menjawab pertanyaan tentang kewenangannya terhadap pengelolaan aset pinjam pakai tersebut.

"Dulu, saat perencanaan kami memang dilibatkan. Namun setelah pekerjaan dimulai, jangankan melibatkan diberitahu saja tidak," kata pihak DKPP.

Termasuk PTBA sebagai 'pemasok dana', tidak mengetahui terkait indikasi raibnya tonan bongkaran BMN yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab mereka. Pantas saja, toh PTBA tidak secara intensif ikut mengawasi jalannya pekerjaan.

Bagaimana perusahaan penambangan ini tahu bahwa sebagian tiang-tiang penyangga tribun masih menggunakan pipa ex bongkaran BMN, selebihnya lagi kemana bongkaran BMN tersebut diperuntukan?

Ironi CSR dan Potensi Aksi
Potongan-potongan kecil pipa besi sisa bongkaran BMN yang teronggok di sisi timur tribun yang berhasil diabadikan keberadaannya oleh tim sedianya menjadi titik berangkat adanya indikasi penggelapan BMN atau setidaknya dapat mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang yang pada gilirannya dapat menyebabkan negara dirugikan karenanya.

Pihak pelaksana pekerjaan mengakui, bongkaran BMN sebagian ada yang digunakannya kembali sebagai tiang penyangga dan sisanya diberikannya untuk bantuan kegiatan sosial.

"Terus terang kami tidak tahu siapa yang memberi perintah, tapi yang jelas orang pemda yang ngambil menggunakan angkutan truk pemda," terang pelaksana.

Alih-alih membangun brand image positive, perusahaan tambang yang berpusat di Tanjung Enim Kabupaten Muara Enim itu justru dinilai gagal dalam memberikan dampak kemajuan, baik dari sisi kebudayaan, sosial ekonomi dan tumbuh kembang olah raga itu sendiri.

Hal ini terlihat dari beberapa kelompok masyarakat baik orang perorangan maupun yang sudah melembaga (LSM. Red) untuk melakukan tuntutan dan protes terhadap keterlambatan penyelesaian proyek pembangunan yang saat ini terbengkalai dan meminta aparat penegak hukum mengusut indikasi raibnya tonan besi sisa bongkaran BMN. (Susanto/Tim)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama