Selama bertahun-tahun, lanskap perbankan Indonesia diwarnai oleh sebuah pertempuran klasik: perang suku bunga deposito. Bank-bank berlomba menaikkan imbal hasil untuk merebut hati dan dana nasabah.
Namun, di tengah dinamika ekonomi 2025 yang penuh tantangan, perang tersebut tidak hanya usang, tetapi juga merupakan strategi yang berbahaya. Pertempuran sesungguhnya telah berpindah dari papan bunga di kantor cabang ke arena yang jauh lebih personal dan krusial: layar ponsel nasabah.
Pemenang industri perbankan ke depan bukanlah mereka yang paling royal memberikan bunga, melainkan mereka yang paling cerdas membangun ekosistem digital.
Jebakan Dana Mahal di Era Suku Bunga Rendah
Tahun 2025 ditandai oleh kebijakan Bank Indonesia yang secara bertahap menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Di saat yang sama, industri perbankan menghadapi tantangan likuiditas yang ketat dan persaingan sengit memperebutkan dana pihak ketiga (DPK).
Kombinasi ini menciptakan dilema. Bank didorong untuk menurunkan suku bunga kredit, yang berpotensi menekan pendapatan. Namun, mereka enggan menurunkan bunga deposito karena takut kehilangan dana nasabah.
Ketergantungan pada dana mahal seperti deposito untuk mendanai operasional adalah sebuah jebakan. Strategi ini secara langsung mengerek biaya dana (Cost of Fund), yang pada akhirnya menggerus margin keuntungan (Net Interest Margin). Ini adalah model bisnis yang tidak berkelanjutan.
Studi Kasus: Cerdas Digital vs Royal Konvensional
Pergeseran paradigma ini terlihat jelas dari strategi beberapa bank besar nasional. Salah satu contohnya adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI.
Alih-alih terpaku pada kompetisi bunga deposito, BNI memilih jalur berbeda dengan melancarkan strategi digital transaction banking yang agresif. Fokus mereka bukan lagi menarik deposan kakap dengan iming-iming bunga tinggi, melainkan mengakuisisi jutaan nasabah ritel melalui pengalaman transaksi digital yang unggul.
Melalui aplikasi wondr by BNI, jumlah pengguna dilaporkan meningkat pesat dari sekitar 2,8 juta menjadi 10,5 juta hanya dalam kurun waktu satu tahun (data internal BNI, 2025).
Lonjakan pengguna aktif ini berdampak langsung pada struktur pendanaan. Semakin banyak nasabah bertransaksi digital, semakin besar pula dana yang mengendap di rekening tabungan dan giro, atau yang biasa disebut “dana murah” (CASA).
Strategi ini memungkinkan BNI menekan biaya dana hingga 2,8%, jauh lebih efisien dibanding rata-rata industri yang masih tinggi. Dengan “bahan bakar” murah ini, bank mampu menyalurkan kredit secara kompetitif dan sehat, terbukti dari pertumbuhan kredit 10,5% (YoY) dengan rasio kredit macet (NPL) rendah di 2,0%.
Fondasi pendanaan yang dibangun di atas loyalitas digital terbukti jauh lebih kokoh daripada yang bergantung pada iming-iming bunga sesaat.
Arah Baru Industri Perbankan
Kisah transformasi digital ini bukan anomali, melainkan cetak biru masa depan industri perbankan Indonesia.
Bank yang masih bertahan dengan strategi konvensional akan tertinggal dan kehabisan napas dalam maraton efisiensi. Solusinya bukan sekadar memiliki aplikasi mobile banking, melainkan membangun ekosistem digital yang terintegrasi, tempat nasabah dapat memenuhi seluruh kebutuhan finansialnya, mulai dari menabung, berinvestasi, hingga bertransaksi sehari-hari.
Peran bank kini bergeser dari sekadar “penyimpan dana” menjadi “mitra finansial” dalam kehidupan digital nasabah. Ketika posisi ini berhasil dicapai, dana murah akan mengalir secara organik, tanpa perlu diiming-imingi bunga tinggi.
Penutup: Pertempuran di Ujung Jari
Perang bunga telah usai. Pemenangnya bukan bank dengan neraca terbesar, melainkan bank yang berhasil menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital nasabahnya.
Pertempuran untuk masa depan perbankan tidak lagi dimenangkan di ruang rapat dewan direksi, melainkan melalui setiap ketukan jari di layar ponsel kita.
Penulis: Rasti Septa Sari (Mahasiswi Akuntansi Syariah Universitas Tazkia)

